Allahkah aku ini… supaya kusembuhkan seorang dari penyakit kustanya? (2 Raj 5:7)

(ulasan bacaan hari minggu biasa XXVIII)

“Allahkah aku ini yang dapat mematikan dan menghidupkan, sehingga orang ini mengirim pesan kepadaku, supaya kusembuhkan seorang dari penyakit kustanya?”

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang keluar dari mulut raja Israel sesaat setelah ia membaca surat raja Aram yang memintanya untuk menyembuhkan Naaman dari penyakit kusta. Betapa beratnya sakit kusta pada masa itu. Hanya Allah yang bisa menyembuhkan.

Sesungguhnya Naaman tidak bermaksud untuk mencari kesembuhan pada raja Israel. Dari budak perempuannya, dia mendengar bahwa ada seorang Nabi di Samaria yang dengan penyertaan Tuhan dapat menyembuhkannya. Dan raja Aram, setelah mendengar permintaan Naaman, kemudian secara resmi mengirimkan surat kepada raja Israel mengenai hal ini. Setelah menerima surat ini, raja Israel hanya bisa mengoyakkan pakaiannya dan putus asa.

Mendengar ini, Elisa kemudian menenangkan sang raja dengan meminta supaya Naaman datang kepadanya. Singkat cerita, Elisa kemudian menyuruh Naaman mandi tujuh kali di sungai Yordan. Inilah konteks cerita dari bacaan pertama pada hari minggu biasa XXVIII (2 Raj 5:14-17). Dari bacaan pertama ini kemudian kita tahu bahwa Naaman menjadi tahir, sembuh dari kustanya. Bahkan, lebih dari itu, Naaman kemudian menjadi orang yang percaya pada Allah: di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel!

Sipakah Elisa ini? Elisa ini adalah seorang Nabi. Dia adalah penerus Nabi Elia. Nabi Elia adalah nabi yang mengalahkan nabi-nabi palsu baal di gunung Karmel (1 Raj 18:20-46). Nabi Elia adalah salah satu tokoh di Alkitab yang diangkat ke sorga oleh Allah (2 Raj 2). Menariknya, sebelum pendahulunya naik ke sorga, Nabi Elisa meminta supaya ia mendapat dua bagian dari roh Nabi Elia (2 Raj 2:9). Nabi Elisa kemudian dikenal sebagai nabi pembuat mukjizat terbesar dalam Perjanjian Lama. 

Mukjizat-mukjizat yang pernah dibuat olehnya antara lain: menyehatkan air di Yerikho (2 Raj 19-22), memperbanyak minyak seorang janda (2 Raj 4:17), menubuatkan kelahiran seorang anak bagi seorang perempuan Sunem (2 Raj 4:8-17), membangkitkan anak perempuan Sunem (2 Raj 4:18-37), memusnahkan racun dalam makanan (2 Raj 4:38-41), memberi makan seratus orang (2 Raj 4:42-44), menyembuhkan Naaman yang kusta (2 Raj 5:1-27), dan lain-lain. Bahkan, dalam 2 Raj 13:21 dicatat bahwa mayat yang bersentuhan dengan tulang-tulang Elisa menjadi hidup kembali!

Secara tidak kebetulan, bacaan Injil pada minggu ini mengisahkan Tuhan Yesus yang menyembuhkan sepuluh orang kusta! (Luk 17:11-19). Jika Elisa menyembuhkan satu orang kusta, Tuhan Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta. Jika Elisa menyembuhkan satu orang kusta itu dengan menyuruhnya mandi sebanyak tujuh kali di sungai Yordan, maka Tuhan Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta itu hanya dengan sabda-Nya! 

Ada semacam kemiripan antara Elisa dengan Tuhan Yesus, khususnya jika kita berbicara tentang mukjizat. Dan jika kita ingat, bukankah Tuhan Yesus sendiri yang mengatakan bahwa Yohanes Pembaptis adalah Elia yang akan datang itu? (Matius 11:13-14). Dan kita tahu bahwa Yohanes Pembaptis tampil mendahului Tuhan Yesus untuk menyiapkan segala sesuatu untuk-Nya. Dari sudut pandang typology, dapat kita lihat bahwa Nabi Elia dan Elisa dalam Perjanjian Lama adalah gambaran Yohanes Pembaptis dan Tuhan Yesus dalam Perjanjian Baru. 

Kisah tentang nabi Elisa yang menyembuhkan Naaman yang sakit kusta dan Tuhan Yesus yang menyembuhkan sepuluh orang kusta setidaknya menyingkapkan dua hal. Pertama, Tuhan Yesus adalah penggenapan dari apa yang digambarkan dari Perjanjian Lama. Jika Elisa menyembuhkan satu orang kusta dengan cara yang ditunjukkan oleh Tuhan kepadanya, maka Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta dengan sabdaNya, secara instan. Tuhan Yesus adalah ‘Elisa baru’ yang sepuluh kali lipat lebih berkuasa! Kedua, Yesus adalah Allah! Bukankah Tuhan Yesus menjawab secara langsung pertanyaan dari raja Israel di atas? Hanya Allah yang sanggup menyembuhkan orang sakit kusta secara langsung!

Catatan:

Ulasan ini adalah studi teks Alkitab berdasarkan ulasan Dr. Brant Pitre dalam channel YouTube Catholic Productions. Anda dapat mengikuti ulasan beliau dengan mengikuti tautan ini. 

Tidakkah kita menempatkan Bunda Maria lebih tinggi dari seharusnya?

Saya yakin bukan cuma saya yang mengalami pergumulan ini dalam Gereja Katolik. Ada kalanya dalam perjalanan hidup doa dan devosi saya kepada Bunda Maria, saya mengalami kekeringan. Kalau tidak salah desolasi istilahnya. Sudah benarkah ajaran Gereja Katolik tentang Bunda Maria? Tidakkah dia hanyalah ibu dari manusia Yesus? Mengapa seolah-olah perannya begitu penting, sehingga orang-orang Katolik bahkan mungkin lebih sering berdoa Salam Maria daripada Bapa Kami?

Pergumulan ini timbul tenggelam seiring datang dan perginya Bulan Maria dan Bulan Rosario. Kadang bibir mengucap doa namun hati tidak di sana. Berbagai pemikiran berkecamuk. Apakah yang saya lakukan ini benar?

Beberapa saat yang lalu saat berselancar di YouTube, saya mendarat di sebuah percakapan menarik antara dua orang Katolik: Matthew Leonard dan Dr. Brant Pitre. Mereka bercakap-cakap tentang Bunda Maria. Nah, ini menarik, pikir saya. Ternyata Dr. Brant Pitre pun pernah mengalami kegundahan yang sama menyangkut Bunda Maria dalam perjalanan hidup doa dan devosinya. Apa yang dia jabarkan tentang Bunda Maria dari Kitab Suci sungguh memberikan terang baru bagi saya dalam melihat Bunda Maria.

Dalam eksegese Alkitab, dikenal istilah typology. Secara sederhana, typology adalah usaha untuk melihat hubungan antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru; bagaimana Perjanjian Baru menyempurnakan apa yang dinubuatkan atau tergambar dari Perjanjian Lama.

Bunda Maria adalah Tabut Perjanjian atau Tabut Allah yang baru. Saya sudah pernah mendengar hal ini, namun belum pernah mendengar bagaimana hal ini dapat dijelaskan. Tabut Perjanjian atau Tabut Allah adalah sebuah tempat istimewa yang dibuat oleh Musa dan orang-orang Israel untuk menyimpan kedua loh batu yang berisi Sepuluh Perintah Allah. Dengan kata lain, Tabut Perjanjian itu berisi Sabda Allah sendiri. Dari Surat Ibrani kita tahu bahwa kemudian, Tabut Perjanjian juga dipakai untuk menyimpan buli-buli emas berisi manna (roti yang diberikan Allah pada bangsa Israel saat mereka kelaparan), dan tongkat Harun, sang Imam, saudara Musa, yang pernah bertunas (Ibrani 9:4).

Pembandingan Tabut Perjanjian dengan Bunda Maria ini dapat kita mulai dengan membandingkan Kitab Keluaran dan Injil Lukas. Dalam Kitab Keluaran 40:34 dikatakan bahwa ‘kemuliaan Tuhan memenuhi Kemah Suci’. Kemah Suci adalah tempat Tabut Perjanjian itu disimpan. Dalam Injil Lukas 1:35 dikatakan bahwa ‘kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungi engkau (Bunda Maria). Santo Lukas, sang Penginjil, menggunakan bahasa Yunani untuk menulis injilnya. Tentu, dia membaca Septuaginta, Kitab Perjanjian Lama yang berbahasa Yunani. Dan dia menggunakan kata yang sama untuk menggambarkan bagaimana kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungi Bunda Maria dengan kata yang dipakai dalam Septuaginta untuk menggambarkan bagaimana kemuliaan Tuhan memenuhi Kemah Suci: ἐπισκιάζω, episkiazō. Dan kata ini tidak banyak dipakai dalam Alkitab. 

Selanjutnya, kita bisa membandingkan Kitab 2 Samuel 6 saat Raja Daud memindahkan Tabut Allah ke Yerusalem dengan Injil Lukas 1:39-56 saat Bunda Maria mengunjungi Elisabet, sanaknya itu. Dalam Kitab 2 Samuel 6 itu Raja Daud begitu heran dengan kuasa Tabut Allah itu sehingga dia berkata pada ayat 9, “Bagaimana tabut TUHAN itu dapat sampai kepadaku?” Di Injil Lukas 1:43, Elisabet juga merasa heran sehingga ia berkata, “Siapakah aku ini, sampai Ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” Mungkinkah kecocokan ayat ini hanya kebetulan semata? Ayat lain di kisah yang sama akan menggugurkan kemungkinan kebetulan ini. Dalam 2 Samuel 6:11 dikatakan bahwa ‘Tiga bulan lamanya tabut Tuhan itu tinggal di rumah Obed-Edom.’ Dan Injil Lukas 1:56 mengatakan ‘Dan Maria tinggal kira-kira tiga bulan lamanya bersama dengan Elisabet, lalu pulang kembali ke rumahnya.’ Santo Lukas tidak menulis bahwa Maria tinggal dengan Elisabet sampai dia melahirkan Yohanes, melainkan dia memilih untuk menulis ‘Maria tinggal kira-kira tiga bulan lamanya bersama dengan Elisabet’ persis seperti ‘tiga bulan lamanya tabut Tuhan itu tinggal di rumah Obed-Edom’.

Nah, sekarang mari kita lihat, apakah Bunda Maria sungguh memiliki kualifikasi sebagai Tabut Perjanjian? Dari Surat Ibrani 9:4 kita tahu bahwa Tabut Perjanjian itu menyimpan manna (roti dari Allah untuk bangsa Israel saat mereka kelaparan di padang gurun), tongkat Harun (Imam Israel) dan loh-loh batu bertuliskan perjanjian (Sabda Allah). Dan rupanya, tidak sulit bagi kita untuk melihat fakta ini: Bunda Maria adalah perawan yang mengandung dan melahirkan Roti Hidup (Yohanes 6:35), Sang Imam Besar (Ibrani 9:11) dan Sang Sabda Yang Menjadi Manusia (Yohanes 1:14).

Sungguh, penjabaran ini memberikan terang baru bagi saya dalam memahami Bunda Maria. Saya percaya bahwa penghormatan yang kita berikan padanya tidaklah berlebihan. Saya selalu memastikan kepada diri saya sendiri bahwa satu-satunya penyelamat adalah Tuhan Yesus, bahwa satu-satunya Pengantara kepada Bapa adalah Tuhan Yesus, dan bahwa menghormati dan mengasihi orang yang dihormati dan dikasihi Yesus adalah pengalaman iman yang luar biasa. Dan saya berdoa bersama Bunda-Nya.

Jika Anda tertarik untuk menyaksikan sendiri percakapan antara Matthew Leonard dan Dr. Brant Pitre di YouTube, silakan klik tautan ini

Mataram 2 Oktober 2019,
Aendydasaint.com 

Malaikat dalam Perspektif Kitab Suci

PENDAHULUAN

Kita sering mendengar tentang malaikat. Bahkan mungkin kita telah mempunyai persepsi sendiri tentang apa atau siapa malaikat itu. Pendengaran dan daya nalar kita memang selalu membantu kita membangun tanggapan mengenai sesuatu. Pikiran mengenai eksistensi malaikat hanyalah salah satu kesan dalam memori kita yang bahkan mungkin tidak lagi menjadi ingatan yang menarik. Sejak kecil kita telah dijejali oleh begitu banyak versi cerita tentang malaikat. Sejak kecil dan bahkan mungkin sampai saat ini kita masih saja mendengar berbagai gambaran tentang malaikat tanpa tahu pasti apa atu siapa sebenarnya malaikat itu.

“Beberapa orang berpendapat bahwa malaikat itu hanyalah khayalan rohani. Beberapa orang berpendapat bahwa mereka hanya makhluk surgawi dengan sayap yang indah. Bahkan sebagian lagi membayangkan mereka seperti wanita banci” (Billy Graham, Malaikat agen rahasia Allah, 27-28). Semua pendapat itu tentu tidak mudah untuk disalahkan ataupun dibenarkan. Pendapat-pendapat itu lebih cenderung untuk menjawab kerinduan kita akan jawaban-jawaban dari pertanyaan umum mengenai malaikat daripada menjelaskan secara pasti tentang malaikat. Gambaran-gambaran itu tentu hanyalah perwakilan dari sekian gambaran yang ada.

Mencoba untuk menguak misteri tentang malaikat hanya dari perkiraan-perkiraan dan daya olah nalar yang spekulatif tentu tidak memadai. Pembicaraan yang panjang lebar tanpa patokan yang jelas bahkan dapat menghantar kita pada keburaman dan bukan pada kejernihan pemahaman. Untuk itu, dalam paper ini Kitab Suci akan menjadi patokan sentral sehingga kita sedapat mungkin tidak terjebak dalam pergulatan spekulatif yang tidak jelas juntrungannya. Kitab Suci yang secara teologis berarti tulisan-tulisan yang diilhami oleh Allah (Bdk. Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus teologi, 145.) akan membantu kita mencari penjelasan tentang apa atau siapa sesungguhnya malaikat itu. Dengan demikian, paper ini menggunakan metode kepustakaan.

1. Pemahaman Tentang Malaikat dalam Perjanjian Lama

Kitab Suci Perjanjian Lama menampilkan cukup banyak teks yang berhubungan dengan malaikat. Teks-teks itu tentu saja mewakili pemahaman Perjanjian Lama tentang malaikat. Secara umum ada tiga pemahaman pokok Perjanjian Lama tentang malaikat yaitu malaikat sebagai utusan, sebagai makhluk surgawi, dan bagaimana penampilan fisik malaikat itu.

1.1. Malaikat Sebagai Utusan

Kitab suci Perjanjian Lama merupakan tulisan-tulisan yang diterima oleh orang-orang Yahudi dan Kristiani sebagai yang diilhami dan termasuk dalam kanon. Tulisan-tulisan itu banyak memuat kisah tentang malaikat. Kitab Suci Perjanjian Lama (septuaginta) menggunakan kata Yunani angelos untuk menterjemahkan kata malaikat dari bahasa Ibrani mal’ak yang berarti utusan atau kurir. Jadi kata malaikat pertama-tama menunjuk pada makna utusan. Dalam pengertian atau konteks Kitab Suci, utusan yang dimaksud tentu bukan sembarang utusan melainkan utusan Allah sendiri.

Di dalam kisah-kisah yang berbau patriarkhal dan monarkis yang mewarnai kitab suci Perjanjian Lama, fungsi-fungsi dasar para utusan ialah menyampaikan pesan Allah kepada manusia, mengalamatkan akan terjadinya peristiwa–peristiwa luar biasa dan untuk melindungi orang beriman baik sebagai individu maupun kelompok. Selain itu , para utusan dalam kisah-kisah seperti itu juga bertugas untuk menjadi alat dari kemurkaan ilahi terhadap para pendosa dan pembangkang yang ada di dalam bangsa Israel sendiri. Malaikatlah yang menyampaikan pesan Allah kepada Abraham agar jangan mengorbankan Isak (bdk. Kej 22:11), yang mengalamatkan kelahiran
Ismael (bdk. Kej 16:11), yang memberi Elia makan di padang gurun (bdk. I Raj 19:5), dan yang melindungi seluruh umat Allah dalam jalan hidup mereka (bdk. Mzm 91:11).

1.2. Malaikat Sebagai Makhluk Surgawi

Selain sebagai utusan malaikat juga dikenal sebagai makhluk surgawi. Disamping paham tentang utusan-utusan, orang Ibrani juga mengenal suatu kelas yang lebih luas dari makhluk-makhluk surgawi yang memiliki kesamaan sifat yang mendasar itu. Semuanya dihadirkan secara sporadis dalam bagian-bagian awal Kitab Suci Perjanjian Lama dan acap kali kiasan-kiasan dikenakan pada mereka meskipun hanya dalam keangkuhan artistik semata-mata, yang terdapat dalam buku-buku puisi. Malaikat-malaikat itu secara luas dikenal sebagai “putera-putera Allah” yaitu makhluk-makhluk surgawi (bdk.Kej 6:2), “yang kudus” (bdk. Mzm 89:5-7), dan “putera-putera dari Yang Mahatinggi” (bdk. Mzm 82:6).

1.3. Penampilan Fisik Malaikat

Sebagai utusan, malaikat muncul kepada manusia dalam rupa manusiawi. Abraham menjamu mereka sebagai tamu tanpa khawatir akan identitas mereka (bdk. Kej 18). Di Yeriko Yosua melihat panglima tentara Allah, malaikat yang menyamar sebagai seorang manusia yang memegang pedang terhunus (bdk.Yos 5:13-14). Sementara itu Manoah, ayah Samson, baru kemudian menyadari bahwa pengunjungnya ialah seorang malaikat setelah ia menghilang dalam nyala api pengorbanan (bdk. Hak 13:20-21). Malaikat itu memiliki kebaikan dan ketampanan yang luar biasa (bdk. I Sam 29:9; II Sam 14:17) dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bumi (bdk. II Sam 14-20). Mereka memakan makanan khusus yang dikenal dengan nama manna (bdk. Mzm 78:24-25).

2. Pemahaman Tentang Malaikat dalam Perjanjian Baru

Sebagaimana Perjanjian Lama, Perjanjian Baru pun memiliki teks-teks yang berhubungan dengan malaikat. Teks-teks itu pulalah yang menampilkan pemahaman Perjanjian Baru tentang malaikat. Pemahaman Perjanjian Baru tentang malaikat itu berkutat sekitar pemahaman mengenai malaikat sebagai utusan, mengenai penampilan fisik dan juga mengenai tempat mereka.

2.1. Malaikat Sebagai Utusan

Secara umum Perjanjian Baru tidak menambahkan apa-apa pada konsep tradisional tentang malaikat, dan dalam beberapa hal bahkan kurang imajinatif. Dalam Perjanjian Baru malaikat juga muncul sebagai pengabar dan pengalamat peristiwa. Hal itu dapat kita lihat pada peristiwa pengabaran kelahiran Yohanes Pembaptis oleh malaikat Gabriel (bdk.Luk 1:-20) dan juga pada peristiwa pemberitahuan para malaikat kepada para gembala bahwa Yesus telah lahir (bdk. Luk 2:8-14). Selain sebagai pengabar, malaikat juga sekaligus menjadi pemberi pertolongan pada saat-saat krisis. Hal itu dapat kita lihat pada peristiwa peringatan malaikat kepada Yosef agar membawa Maria dan bayi Yesus ke Mesir (bdk. Mat 2:13) dan pada saat malaikat menguatkan Yesus di Bukit Zaitun (bdk. Luk 22:43).

2.2. Penampilan Fisik Malaikat

Selain gambaran-gambaran mengenai tugas-tugas dan tanggungjawabnya, dalam Perjanjian baru juga dilukiskan tentang penampilan fisik para malaikat. Secara fisik, kadang-kadang malaikat digambarkan memakai jubah putih (bdk. Mat 28:3; Why 15:6). Hal itu mungkin berkaitan dengan paham bahwa warna putih itu mencerminkan kesucian. Tidak hanya sebatas itu, para malaikat bahkan digambarkan sebagai makhluk yang bermandikan cahaya (bdk. Mat 28:3; Luk. 2:9; Why 18:1). Malaikat dipercaya sebagai makhluk spiritual ciptaan Allah yang memiliki kelebihan dalam hal sifat dibandingkan dengan manusia. Paham itu menghadirkan penggambaran malaikat sebagai “yang bermandikan cahaya” sebab mereka adalah makhluk superior ciptaan Allah yang tidak memiliki sisi gelap.

2.3. Tempat Malaikat

Secara cukup jelas Perjanjian Baru juga menyiratkan kedudukan para malaikat. Sebagai makhluk surgawi yang diciptakan Allah, para malaikat sudah barang tentu mendapat tempat yang tidak jauh dari Allah. Hal itu berhubungan juga dengan tugas dan tanggungjawab malaikat itu sendiri. Para malaikat mengelilingi takhta Allah di surga sambil mengidungkan kemuliaanNya (bdk. Luk 2:13; Why 4:9). Dengan demikian, para malaikat berdiam di surga sebagai pelayan Allah.

KESIMPULAN

Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyediakan banyak teks tentang malaikat kepada kita. Sebagai orang kristiani, yaitu orang-orang yang menggunakan Kitab Suci itu, seharusnya kita tidak bingung lagi mengenai fenomena malaikat itu. Walaupun ada begitu banyak cerita, banyak versi penafsiran tentangnya, Kitab Suci telah secara gamblang menjelaskan kepada kita siapa atau apa sesungguhnya malaikat itu.

Setelah membaca teks-teks Kitab Suci yang berhubungan dengan malaikat baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, kita kini telah mengetahui apa atau siapa sesungguhnya malaikat itu. Kitab Suci mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar kita tentang apa atau siapa malaikat itu. Dari kitab suci kita telah mengetahui bahwa sesungguhnya malaikat itu ialah makhluk surgawi yang diciptakan oleh Allah sendiri. Mereka adalah makhluk-makhluk kudus yang kerap juga disebut putera-putera Allah. Menjadi utusan, pengabar, dan pemberi pertolongan dalam konteks melakukan kehendak Allah adalah tugas mereka. Para malaikat itu digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kebaikan dan ketampanan yang luar biasa, yang muncul kepada manusia dalam rupa manusiawi, yang berjubah putih, bermandikan cahaya, dan mengelilingi takhta Allah di surga sambil mengidungkan kemuliaan-Nya.