Membangun Diri Seturut Teladan Yesus

  • Yesus telah dan terus memberi pengaruh begitu mendalam dalam diri para pengikut-Nya. Mereka yakin bahwa tidak mungkin ada orang lain yang sama atau lebih besar dari pada-Nya. Bahkan Musa atau Elia tidak (Markus 9: 2 – 8), Abraham juga tidak (Yohanes 8:58). Tidak perlu lagi “menantikan seorang lain” (Matius 11:3).

  • Yesus adalah penggenapan setiap janji dan nubuat. Kalau ada yang harus diangkat menjadi Mesias, Raja, Tuhan, Anak Allah, tidak ada kemungkinan lain kecuali Yesus (Kis 2:36; Rom 1:4; Wahy 17:14; 19:16).

  • Yesus adalah terobosan sejarah manusia. Kata-kata-Nya adalah sabda Allah. Roh-Nya adalah Roh Allah. Perasaan-Nya adalah perasaan Allah.

  • Pada zaman ini percaya kepada Yesus berarti setuju dengan yang telah dikatakan mengenai diri-Nya. Percaya kepada Yesus berarti percaya bahwa Dia Ilahi. Percaya bahwa Yesus Ilahi adalah memilih untuk menjadikan Dia dan yang Ia perjuangkan sebagai Allah.

  • Kita sudah melihat seperti apakah Yesus itu. Karena kita telah mengimani bahwa Dialah Allah kita, maka seluruh pribadi Yesus kita yakini memberi inspirasi dalam hidup kita. Seluruh hidup kita hendaknya diinspirasi, dimotivasi dan didorong oleh pribadi Yesus yang kita kenal dan kita imani itu. Dengan demikian Yesuslah tokoh idola kita dalam hidup.

  • Menjadikan Yesus sebagai tokoh idola berarti berusaha untuk menyerupai Yesus, berusaha untuk seperti Yesus, berusaha untuk menjadi kebanggan Yesus dalam setiap langkah, dan dalam setiap peri kehidupan kita. Yesus menjadi nafas dalam kehidupan kita.

  • Sebagai orang yang mengimani Yesus, maka bukan hal yang salah, jika kita mengidolakan Dia dalam hidup kita. Dia yang telah kita kenal melalui sabda dan perbuatan-Nya, dapat menjadi idola bagi kita semua.

Dukung website ini dengan subscribe channel YouTube Aendy Da Saint:

Kasih yang Tidak Membedakan

  • Manusia, apapun ras, suku, agama, jenis kelaminnya memiliki martabat yang sama. Sebagai mahluk yang memiliki martabat yang sama, sepatutnya manusia hidup secara rukun tanpa membedakan antara satu dengan yang lain.

  • Namun demikian, dalam praktik kehidupan di tengah masyarakat, masih banyak dijumpai kehidupan masyarakat yang tersekat-sekat atau terkotak-kotak. Sebagai contoh, ketika seseorang mau membantu orang lain, masih ada yang akan membatu dengan melihat dahulu siapa yang akan dibantu. Mereka lebih senang membantu kepada yang satu suku, atau seagama, ataupun yang masih dikenal. Belum lagi tindakan diskriminatif, membedakan secara tidak adil berdasarkan perbedaan suku, ras, agama, jenis kelamin sepertinya menjadi berita yang tidak habisnya untuk dikonsumsi oleh masyarakat kita.

  • Yesus sendiri hidup dalam suasana masyarakat Yahudi, di mana pada masa itu cinta yang terkotak-kotak masih berjalan dan dilaksanakan di tengah masyarakat Yahudi. Cinta diukur berdasarkan sekat-sekat misalnya; sedarah, seagama, segolongan, sepaham, status sosial yang tinggi, tidak mengritik pandangannya, dan sebagainya. Maka, orang yang berbeda atau tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut dibenci dan disingkirkan.

  • Namun demikian, Yesus tidak ikut arus. Yesus memiliki prinsip untuk mengasihi semua orang tanpa batas atau tanpa membedakan satu dengan yang lain. Sebagai salah satu contoh, Yesus tidak ikut arus untuk menjauhi dan memusuhi Zakeus si pemungut cukai. Yesus bukan hanya tidak menjauhi Zakheus, tetapi bahkan Yesus makan bersama dengan Zakheus di rumahnya sehingga akhirnya Zakheus bertobat.

  • Selain itu, Yesus mau menyembuhkan orang sakit, bukan menjauhi dan mengutuknya sebagai orang yang dikutuk Allah. Yesus mengampuni orang berdosa dan perempuan yang berzinah sehingga mereka pun bertobat. Yesus menyelamatkan semua orang dengan mencintai mereka tanpa pandang bulu.

  • Sifat manusiawi, egoisme, mau menang sendiri, tidak mau direpotkan serta mau enaknya sendiri yang dimiliki seseorang masih cenderung lebih diutamakan, sehingga praktik hidup yang pilih-pilih dalam pergaulan juga masih sering terjadi. Seperti halnya yang dilakukan oleh seorang imam dan seorang Lewi dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang Baik Hati yang disampaikan oleh Yesus.

  • Dalam perumpamaan itu, dikisahkan bahwa ada orang yang dirampok dan dipukuli hingga hampir mati dalam perjalanannya. Beberapa waktu kemudian, lewatlah seorang imam di jalan itu, tetapi tidak menolong korban perampokan itu. Kemudian lewat pula seorang Lewi, dan ia juga tidak menolong. Akhirnya lewatlah seorang Samaria, yang waktu itu tidak memiliki hubungan yang baik dengan orang Israel (Orang Samaria dianggap rendah karena sudah bercampur dengan suku bangsa lain), yang menolong korban itu tanpa mempedulikan latar belakang orang yang ditolong. Orang Samaria itu menunjukkan cinta yang tidak membedakan.

  • Yesus mengajarkan pada kita bahwa pada hakikatnya cinta (kasih) itu sendiri selalu terarah pada orang lain. Kalau kita mengasihi orang lain, sesungguhnya kita harus berusaha bagaimana orang yang kita kasihi itu bahagia. Tidak pandang bulu siapa orang itu, apa agamanya, keadaan ekonominya. Yang penting kasih yang kita berikan hendaknya terarah kepada semua orang dan menjadikan orang tersebut bahagia.

  • Contoh cinta tanpa pengkotakan atau kasih yang tanpa membedakan yang dapat dilakukan remaja. Misalnya: berteman dengan semua orang dan tidak hanya berteman dengan teman tertentu saja, mau mendekati atau berteman dengan orang yang oleh teman lain dijauhi, mau terlibat kegiatan bersama teman tanpa pilih-pilih, membantu teman tidak hanya pada teman dekat saja melainkan kepada semua teman yang memerlukan bantuan.
    Dukung website ini dengan subscribe channel YouTube Aendy Da Saint:

Berpacaran

  • Seiring dengan perkembangannya, seorang remaja akan memasuki relasi sosial yang semakin luas. Awalnya lebih senang bergaul atau membentuk kelompok dengan teman sejenis, lama kelamaan akan mulai merasa perlu untuk juga menjalin relasi dengan teman lawan jenisnya. Bahkan untuk menarik perhatian lawan jenisnya, remaja mencoba untuk menampilkan diri sebaik mungkin misalnya menjaga tutur katanya, menjaga penampilannya, juga mencoba untuk mempercantik diri agar lawan jenisnya tertarik.
  • Pertemanan yang mendalam dan khusus dengan lawan jenis, pada akhirnya akan terjalinlah hubungan khusus yang disebut dengan pacaran.
  • Berpacaran dapat diterima secara wajar karena hal itu perkembangan dari persahabatan sejati oleh dua orang yang berlainan jenis.
  • Remaja SMP perlu memahami secara benar tentang masalah pacaran yang baik, sehingga dampak negatif dari pacaran itu tidak terjadi, tetapi malah sebaliknya kita menjadi mampu menempatkan diri dengan baik dalam menjalin relasi dengan teman terlebih yang lawan jenis.
  • Pacaran yang sehat tidak hanya tertarik untuk menyenangkan diri, namun menuntut perlakuan yang hormat dan suci terhadap pacar. Artinya, pacar tidak diperlakukan sebagai alat untuk melampiaskan keinginannya. Pacaran hakekatnya adalah untuk mempersiapkan diri menuju perkawinan yang membahagiakan.
  • Alkitab memberikan beberapa pegangan yang jelas untuk membimbing kita dalam membuat keputusan mengenai soal pacaran, seperti:
    (1) Jagalah hatimu. Kitab Suci mengajarkan kepada kita untuk berhati-hati dalam memberikan/menyampaikan kasih sayang kita, karena hati kita mempengaruhi segala sesuatu dalam hidup kita. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23)
    (2) Kamu akan menjadi seperti teman-temanmu bergaul. Kita juga cenderung menjadi seperti teman-teman sepergaulan kita. Prinsip ini berhubungan erat dengan yang hal yang pertama dan sama pentingnya dalam pergaulan seperti hubungan dalam pacaran. “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakan kebiasaan yang baik.” (1 Korintus 15:33)(3) Harus mengikuti standar moral Alkitab. Dalam Roma 12:12 dikatakan bahwa jangan kita menjadi serupa dengan dunia atau dengan kata lain jangan berpacaran ala orang dunia. Hendaknya dalam berpacaran mengikuti nasihat Injil, yaitu didasari kasih akan Allah. Percayailah Allah dalam segala hal karena Ia itu Mahatahu yang tentunya tahu apa yang menjadi kerinduan/kebutuhan kita bahkan Ia menjanjikan masa depan yang penuh harapan, lihatlah Yeremia 29:11; Amsal 23:18. Jadi pacaran yang benar harus di dasari dengan Kasih Allah sehingga orientasi pergaulan itu hanya ada di dalam tubuh Kristus.
  • Nasihat Kitab Suci yang juga harus diingat dalam berpacaran:
    1 Korintus 6:18 “Jauhkanlah dirimu dari percabulan!”
    2 Korintus 6:14 “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”

Catatan penting buku guru agama katolik dan budi pekerti kelas 7

Peran Sekolah Bagi Perkembanganku

  • Hingga saat ini kita semua mengakui bahwa lembaga pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal, atau “sekolah” mempunyai peran yang strategis dalam membantu proses pembentukan diri seseorang.
  • Bahkan banyak orang tua yang seolah mengandalkan sekolah sebagai wadah utama pembinaan anak-anaknya. Tentu saja hal ini tidak adil, sebab pendidik utama dan terutama adalah orang tua, sedangkan sekolah hanya bersifat membantu.
  • Tetapi sejalan dengan berkembangnya profesionalisme dalam segala bidang, sekolah akhirnya menjadi tumpuan utama. Kenyataan ini memang benar adanya, sekolah menjadi tempat orang mendapatkan banyak pengetahuan, wawasan, keterampilan untuk hidup di tengah masyarakat. Semua orang sangat terbantu memperkembangkan diri berkat sekolah.
  • Yang dimaksud “sekolah” tentu meliputi banyak aspek: sarana dan prasarana, terutama manusia-manusia yang ada di dalamnya. Merekalah yang berperan lebih banyak dalam proses pembentukan diri. Mereka masing-masing, mempunyai peran yang tidak pernah dapat dilupakan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Mereka itu adalah Kepala Sekolah dan wakilnya, guru, dan karyawan.
  • Dalam Kitab Suci tidak digambarkan secara jelas apakah Yesus bersekolah atau tidak. Meskipun begitu, kita tahu bahwa Tuhan Yesus adalah pribadi pembelajar. Saat berkunjung ke Bait Allah dalam kesempatan ziarah, Ia menggunakan waktu-Nya untuk bertanya jawab dengan ahli-ahli Taurat. Melalui belajar itu himkat-Nya bertambah besar. Semangat-Nya untuk belajar tidak terhalangi oleh situasi ekonomi keluarga-Nya yang sederhana. Keluarga-Nya hanyalah keluarga tukang kayu.
  • Selanjutnya, dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen menegaskan tentang pentingnya pendidikan atau sekolah. Oleh karena itu, pelayanan pendidikan harus tertuju kepada semua orang, sebab melalui sekolah kita disiapkan untuk mampu hidup di tengah masyarakat. Karena itu, kita perlu mempunyai sejumlah pengetahuan dan ketrampilan agar mampu hidup.
  • Dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen, artikel 1: Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun juga, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan, yang cocok dengan tujuan atau sifat-perangai mereka, mengindahkan perbedaan jenis, serasi dengan tradisi-tradisi kebudayaan serta para leluhur, sekaligus juga terbuka bagi persekutuan persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain, untuk menumbuhkan kesatuan dan damai yang sejati di dunia. Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya.
  • Dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen, artikel 5: Di antara segala upaya pendidikan sekolah mempunyai makna yang istimewa. Sementara terus-menerus mengembangkan daya kemampuan akal budi, berdasarkan misinya sekolah menumbuhkan kemampuan memberi penilaian yang cermat, memperkenalkan harta warisan budaya yang telah dihimpun oleh generasi-generasi masa silam, meningkatkan kesadaran akan tata nilai, menyiapkan siswa untuk mengelola kejuruan tertentu, memupuk rukun persahabatan antara para siswa yang beraneka watak-perangai maupun kondisi hidupnya, dan mengembangkan sikap saling memahami. Kecuali itu, sekolah merupakan bagaikan suatu pusat kegiatan kemajuan, yang serentak harus melibatkan keluarga-keluarga, para guru, bermacam-macam perserikatan yang memajukan hidup berbudaya, kemasyarakatan dan keagamaan, masyarakat sipil dan segenap keluarga manusia.

Catatan penting Buku Guru Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas 7

Mengembangkan Diri sebagai Perempuan atau Laki-laki

  • Umumnya remaja SMP sadar bahwa dirinya, sebagai perempuan atau laki-laki sedang berkembang. Ia sadar bahwa dirinya makin menarik karena cantik atau tampan. Ia juga sadar bahwa kekhasan dan fungsi-fungsi dirinya makin bertambah. Dalam kondisi semacam itu sesungguhnya mereka makin perlu mendapat bimbingan dan arahan, agar mereka tidak hanya merasa puas terhadap pencapaian kematangan fisik. Sebab, banyak kasus sekarang ini yang memperlihatkan beberapa remaja yang menggunakan pencapaian kematangan fisik itu justru dengan melakukan tindakan yang dapat merusak diri mereka sendiri, seperti memamerkan bahkan menjual tubuh, atau melakukan pengeroyokan untuk memperlihatkan kekuatan, merokok atau memakai narkoba sebagai gaya hidup.
  • Tentu saja para remaja perlu belajar menyadari bahwa pencapaian kematangan fisik itu bukan titik akhir dari perkembangan mereka. Para remaja, perlu diajak melangkah untuk berfikir lebih jauh bahwa masih banyak hal yang harus dilatih, dimiliki dan dibiasakan dalam hidupnya. Sebab panggilan luhur mereka sebagai perempuan atau laki-laki yang sesungguhnya adalah menjadi manusia sempurna, manusia sejati, yakni sebagai perempuan sejati atau sebagai laki-laki sejati.
  • Iman Katolik memberi penegasan bahwa pria atau wanita pada dasarnya merupakan anugerah Allah yang indah dan patut disyukuri. Maka perlu dihormati, dijalankan dan dikembangkan secara benar dan bertanggung jawab. Mengembangkan diri sebagai perempuan atau laki-laki pertama-tama berarti mengembangkan diri agar sebagai perempuan atau laki-laki, mampu memancarkan citra kekuatan dan kasih Allah yang lemah-lembut.
  • Bersamaan dengan itu, mengembangkan diri menjadi perempuan atau laki-laki dapat diwujudkan pula dengan sejak dini menjaga kemurnian dan kesucian, baik fisik (tubuh) maupun jiwa. Tentang kesucian Tubuh, Santo Paulus dalam Suratnya kepada umat di Korintus menegaskan bahwa tubuh kita merupakan Bait Roh Kudus (1Kor. 6:13b-20), yakni tempat roh Allah hadir dan berkarya dalam diri manusia. Maka, kita tidak hanya perlu menghormati tubuh kita, melainkan merawatnya dan menggunakan tubuh kita sesuai dan demi kemuliaan Allah sendiri.
  • Lebih jauh dalam syahadat ditegaskan kembali bahwa tubuh kita juga akan dibangkitkan kembali, diubah, dan disempurnakan oleh Allah pada saat kebangkitan. Kita percaya akan adanya kebangkitan badan. Maka tubuh manusia tidak hanya fisik-jasmaniah, melainkan bersifat spiritual-rohaniah, yang dari padanya harus menghasilkan buah-buah kebajikan dan susila yang baik. Jangan sampai tubuh yang kita miliki menjerumuskan kita ke dalam dosa.
  • Sebagaimana diuraikan dalam pelajaran sebelumnya bahwa Allah menciptakan manusia baik perempuan maupun laki-laki sebagai citra-Nya. Maka panggilan manusia, entah sebagai perempuan atau laki-laki, menampilkan dan memancarkan diri sebagai Citra Allah. Secara lebih khusus, dalam artikel 2335 ditegaskan bahwa manusia, entah perempuan atau laki-laki harus mampu memancarkan citra (gambaran dari) kekuatan dan cinta kasih Allah yang lemah lembut. (bdk. artikel 2335)

Katekismus Gereja Katolik Artikel 2335
Kedua jenis kelamin mempunyai martabat yang sama dan, walaupun atas cara yang berbeda-beda, merupakan citra kekuatan dan cinta kasih Allah yang lemah lembut.

  • Gambaran Allah yang kita imani adalah Allah yang kuat kuasa. Kekuatan Allah itu tak akan tergoyahkan oleh kekuatan apapun juga. Kekuatan Allah bukan kekuatan untuk menindas dan menguasai; melainkan untuk melayani, mengasihi, membahagiakan dan menyelamatkan.
  • Gambaran Allah yang kita imani juga adalah Allah yang Mahakasih. Kasihnya lemah lembut, penuh pengampunan dan tanpa batas. Allah menyatakan kasih-Nya yang lembut serta tanpa batas itu dengan rela menyerahkan anak-Nya sendiri menjadi korban tebusan bagi manusia sampai wafat di kayu Salib.
  • Salah satu usaha memampukan diri sebagai pancaran kekuatan dan kasih Allah itu, maka kita diajak menjaga kesucian diri, baik sebagai perempuan maupun laki-laki, sebagaimana diungkapkan dalam Katekismus Gereja Katolik (bdk. artikel 2342-2345).

Katekismus Gereja Katolik Artikel 2342
Memperoleh pengendalian diri adalah satu tugas yang membutuhkan waktu. Kita tidak boleh berpendapat bahwa kita telah memperolehnya untuk selama-lamanya. Kita harus selalu berusaha terus-menerus dalam segala situasi kehidupan. Dalam bagian kehidupan tertentu, ketika kepribadian dibentuk, ia menuntut satu usaha khusus, misalnya dalam masa kanak-kanak dan dalam masa muda.

Katekismus Gereja Katolik Artikel 2343
Kemurnian mengikuti hukum pertumbuhan: ia melewati beberapa tahap, di mana ia masih tidak sempurna dan mudah untuk berdosa. Manusia yang berkebajikan dan murni adalah “suatu makhluk dalam sejarah, yang dari hari ke hari membentuk diri melalui sekian banyak keputusannya yang bebas; karena itu ia mengenal, mencintai dan melaksanakan kebaikan moral juga secara bertahap” (FC 34).

Katekismus Gereja Katolik Artikel 2344
Kemurnian adalah satu tugas pribadi; tetapi ia menuntut juga satu usaha kultural, karena “pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan masyarakat sendiri saling tergantung” (GS 25,1). Kemurnian mengandaikan penghormatan kepada hak-hak manusia, terutama sekali hak atas pembinaan dan pendidikan, yang memperhatikan dimensi susila dan rohani kehidupan manusia.

Katekismus Gereja Katolik Artikel 2345
Kemurnian adalah satu kebajikan susila. Ia juga merupakan anugerah Allah, satu rahmat, satu buah roh Roh Kudus yang menganugerahkan kekuatan untuk mengikuti kemurnian Kristus kepada mereka yang dilahirkan kembali dalam air Pembaptisan.

  • Melalui pelajaran ini, para remaja diharapkan sejak dini belajar melatih diri bersikap kritis dalam memilih dan memilah hal-hal yang mendukung perkembangan kepribadiannya dan berusaha dengan keras menghindari dan menolak hal-hal yang dapat merusak dirinya.

Catatan penting Buku Guru K13 Kelas 7

Renungan harian dengan pendekatan pribadi. Kunjungi dan subscribe channel YouTube Risalah Immanuel. Upload setiap hari jam 6 pagi WITA!

Syukur sebagai Citra Allah

  • Kata “syukur” atau “bersyukur” bagi sebagian orang menjadi sesuatu yang mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan. Hal itu disebabkan karena manusia zaman sekarang sering memandang seolah-olah keberhasilan dan apa yang dimiliki saat ini semata-mata hasil usaha dan kerja kerasnya sendiri, lepas dari peran Tuhan di dalamnya.
  • Tentu saja hal ini memprihatinkan. Walaupun demikian, kita dapat memaklumi mengapa hal ini terjadi. Salah satu faktor penyebabnya karena manusia zaman sekarang hampir tidak menyempatkan diri untuk diam dan hening. Seluruh waktu seolah habis untuk berbagai aktivitas dan memenuhi kebutuhan hidup yang sifatnya keduniawian. Iman atau agama hampir tidak mempunyai tempat dalam kehidupan. Kalaupun masih, sebab melakukan komunikasi dengan Tuhan, hal itu lebih bersifat formal-legalis (karena kewajiban dan aturan).
  • Bentuk kehidupan semacam ini menjadi salah satu hal yang melanda dunia remaja. Banyak remaja lebih mengutamakan pemenuhan kewajiban belajar dari pada yang sifatnya rohani. Bahkan kewajiban keagamaan sering terkalahkan dengan kebutuhan untuk berkumpul dengan teman atau bermain game. Tentu saja hal tersebut merupakan tanda-tanda lunturnya iman manusia akan Allah.
  • Dari segala yang telah diciptakan Tuhan, hanya manusia diberi kemampuan bersyukur. Manusia mampu bersyukur karena sebagai Citra-Nya, Allah membekali manusia dengan akal budi dan hati nurani serta roh. Semua itu memampukan manusia untuk senantiasa mencari Allah dan mengarahkan hidup sesuai dengan kehendak Allah.
  • Lewat akal budi, hati nurani dan roh pula manusia beriman mampu mengamini, bahwa sesungguhnya hidup manusia dengan segala pengalamannya – baik manis maupun pahit, menyenangkan atau tidak menyenangkan, dan segala keadaannya: sempurna atau tidak sempurna, cantik atau tampan – atau kurang cantik dan kurang tampan; tidak pernah lepas dari peran Allah sang Pencipta.
  • Hidup yang kita alami apapun keadaannya sesungguhnya merupakan bukti pemeliharaan dan cinta Tuhan. Maka, selayaknyalah manusiapun bertumbuh menjadi pribadi yang penuh syukur kepada-Nya.
  • Melalui kisah Kesepuluh Orang Kusta dalam Luk. 17: 11-19, Injil hendak mengajak kita untuk meneladan orang Samaria, yang setelah mengalami penyelamatan Allah melalui Yesus pergi bersyukur kepada-Nya.
  • Dalam Injil Lukas 17: 11-19 diceritakan ada sepuluh orang yang merasakan karya penyelamatan Allah dalam dirinya melalui penyembuhan atas penyakitnya. Tetapi dari sepuluh orang yang disembuhkan ternyata hanya satu orang yang bersyukur. Orang itu adalah orang Samaria.
  • Menurut Kamus Alkitab, Samaria dalam masa Perjanjian Lama merupakan ibu kota Kerajaan Israel Utara sejak raja Omri (1Raj. 16:24). Pada tahun 722 SM Samaria direbut tentara Asyur (2 Raj. 17:5), penduduknya dicampur dengan bangsa-bangsa lain, sehingga juga agama dicampur (2 Raj. 17:24-41). Pada zaman Yesus Samaria adalah daerah diantara Galilea di sebelah Utara dan Yudea di selatan. Penduduknya dibenci oleh orang-orang Yahudi karena agama (dianggap kafir) dan kebiasaannya berbeda dengan orang Yahudi pada umumnya.
  • Dari sepuluh orang itu, sembilan orang menganggap dirinya sebagai orang beriman, satu orang dianggap kafir atau tidak percaya kepada Allah. Tetapi anehnya, mengapa yang sering dicap sebagai orang kafir itulah yang datang kembali untuk bersyukur?
  • Manusia akan mampu bersyukur bila: Mampu mengagumi keindahan dan karya serta penyertaan Tuhan dalam hidupnya; Mengakui, bahwa apa yang dilakukan Tuhan tersebut sebagai cara Tuhan mencintai dirinya; Mengungkapkan dengan ibadat dan mewujudkan syukur dalam hidup sehari-hari melalui tindakan. Proses itu hanya dapat dilakukan bila manusia masuk dalam suasana hening, meninggalkan berbagai kesibukan.
  • Rasa syukur dapat diungkapkan melalui ibadat atau doa. Oleh karena itu, sesungguhnya doa bukan kewajiban, dan dapat dilakukan setiap saat.
  • Doa dapat diwujudkan melalui tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari seperti berikut.
    – menolong sesama yang menderita,
    – berusaha hidup lebih baik,
    – memelihara kehidupan itu sendiri, misalnya dengan menjaga kesehatan, kebersihan, menjauhi obat-obatan,
    – menjaga kehidupan orang lain, seperti yang dilakukan Sr. Theresa yang menolong orang-orang miskin dan terbuang,
    – membiasakan bersyukur atas peristiwa hidup, baik suka maupun duka.

    Catatan penting Buku Guru Kelas 7 K13

Kemampuanku Terbatas

  • Pengalaman akan keterbatasan kemampuan diri sesungguhnya merupakan pengalaman yang kerap kali dialami. Walaupun demikian, kita dapat melihat dua sikap yang sering muncul menghadapi keterbatasan.
  • Sikap pertama, sikap menerima dan mengakui. Sikap positif ini akan berdampak pada kemampuan untuk mengatasi keterbatasan dengan positif pula: belajar lebih keras, belajar dari orang lain, tidak minder, dan sebagainya.
  • Sikap kedua adalah sikap tidak mengakui, bahkan menutup-nutupi keterbatasan. Sikap negatif ini umumnya akan mengantar orang pada sikap dan tindakan munafik, berpura-pura, iri hati akan keberhasilan orang lain, berusaha menjatuhkan orang lain, minder, kurang percaya diri, kadang menghalalkan segala cara untuk menutupi keterbatasan dirinya.
  • Iman Kristiani mengajarkan bahwa pengalaman keterbatasan merupakan pengalaman yang tak dapat diingkari. Manusia adalah makhluk yang fana, yang terbatas. Manusia diciptakan dalam kesempurnaan, tetapi yang juga mempunyai keterbatasan.
  • Keterbatasan yang dimiliki dalam bentuk apa pun sesungguhnya menyiratkan suatu panggilan kepada setiap manusia untuk berelasi dengan sesama, bekerja sama saling melengkapi dan saling mengembangkan demi kepenuhannya.
  • Tetapi yang menjadi penting adalah bagaimana pengalaman keterbatasan tersebut disikapi secara benar, yakni berupaya mengatasi dengan mencari sumber kekuatan dan kesempurnaan sejati, yakni Allah sendiri. Sikap semacam ini, dapat direfleksikan dari kisah Yesus meredakan angin ribut dalam Mrk. 4:35-41, atau beberapa kisah lainnya, seperti Mrk. 6: 35-44, dan Luk. 5: 1-11.
  • Ketika sadar akan keterbatasan kemampuan, ada sebagian orang menjadi bingung, bahkan ada pula yang menyalahkan Tuhan. Para murid Yesus rupanya mengalami hal yang kurang lebih sama. Mereka bingung dan menyalahkan Yesus seolah-olah Yesus tidak peduli dengan nasib mereka, seperti nampak dalam ungkapan: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” Mungkin dalam bahasa manusia sekarang hal tersebut dapat berbunyi: “mengapa saya tidak dilahirkan dengan wajah cantik/ganteng? Mengapa orang tua saya miskin? Mengapa saya tidak sepintar dia? Mengapa Engkau menciptakan aku dalam keadaan cacat?”
  • Tetapi ada hal yang menarik dari kutipan tersebut. Ketika sadar akan keterbatasan kemampuannya, para murid Yesus pergi mencari pertolongan Yesus. Mereka sadar bahwa saat menghadapi keterbatasan, manusia perlu memberanikan diri memnita bantuan orang lain, terutama Tuhan.
  • Ada dua pesan yang kuat yang tersampaikan dalam kisah Yesus meredakan angin ribut:
    Pertama, menguatkan keyakinan iman kita, bahwa dibalik keterbatasan yang dimiliki pada setiap orang pada saat manusia diciptakan, Allah bermaksud supaya manusia dapat saling membantu dan bekerja sama satu sama lain untuk saling mengembangkan dan menyempurnakan. Bukan maksud Tuhan untuk bersikap tidak adil. Ketika dalam keluarga ada satu anggotanya yang cacat, misalnya, Tuhan hendak mengajari mereka untuk lebih peduli dan menyayangi anggota keluarga itu. Kita semakin diteguhkan jika saling membantu dan bekerja sama dalam keterbatasan masing-masing demi saling melengkapi dan mengembangkan diri.
    Kedua, pada akhirnya manusia harus sadar, bilamana mengalami keterbatasan diri ia harus mencari sumber kekuatan dan kesempurnaan sejati, yakni Tuhan Allah. Kenyataan tersebut dapat kalian lihat, mengapa pada saat-saat sulit orang tuamu atau kamu lebih rajin berdoa, supaya kamu lulus ujian banyak orang tuamu bermohon kepada Tuhan dengan bernovena.

    Catatan penting Buku Guru Kelas 7 K13

Aku Memiliki Kemampuan

  • Iman Kristiani menegaskan kepercayaan bahwa setiap manusia sejak awal diciptakannya sudah dibekali oleh Allah dengan berbagai kemampuan. Bekal itu diberikan supaya manusia dapat hidup dan berkembang menuju kesempurnaannya. 
  • Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak mempunyai kemampuan, sebab pada saat Allah menciptakannya, Ia sudah membekali manusia dengan berbagai kemampuan, walaupun kemampuan yang diberikan itu berbeda satu dengan yang lain. Tugas manusia adalah bertanya, mencari dan menemukan dalam dirinya kemampuan-kemampuan itu.
  • Setiap orang diberi kemampuan yang berbeda satu terhadap yang lain, sebab dengan perbedaan tersebut maka terjadilah apa yang dikehendaki Tuhan, yakni agar manusia saling membantu dan bekerja sama dalam memperkembang diri.
  • Ada kemampuan yang sifatnya umum dimiliki semua orang, ada yang sifatnya khusus. Semua orang dapat berlari, tetapi ada yang dapat cepat sehingga dapat meraih sukses lewat kemampuan larinya itu, ada yang biasa-biasa saja. Semua orang dapat bicara, tetapi ada yang beruntung dengan kemampuan bicaranya menghasilkan banyak uang, ada yang senang membicarakan orang lain, ada yang bicara seperlunya.
  • Kemampuan yang telah dianugerahkan Tuhan itu perlu dilatih dan dikembangkan, agar lebih bermanfaat. Tidak dapat langsung terampil tanpa berlatih. Kemampuan yang telah dianugerahkan Allah itu perlu disadari dan dikembangkan dengan sikap yang bertanggung jawab, sebab pada saatnya nanti, manusia harus mempertanggungjawabkan pemberian Tuhan itu. Gagasan inilah yang cukup jelas diungkapkan dalam perumpamaan tentang talenta (bdk. Mat 25: 14-30).
  • Perumpamaan tentang talenta memberi pesan yang cukup jelas. Kemampuan yang ada pada diri manusia merupakan anugerah Allah, bukan berasal dari diri manusia itu sendiri. Manusia harus bertanggung jawab terhadap pemberian Tuhan itu. Sikap bertanggung jawab ditunjukkan dengan berusaha keras mengembangkannya agar berbuah berlipat ganda, dan berguna bagi diri sendiri. Sebaliknya, bila manusia hanya membenamkan kemampuan yang telah diberikan itu, berarti manusia menyia-nyiakan anugerah itu, dan dan lama-kelamaan kemampuannya itu akan tumpul, bahkan akan hilang.
  • Banyak cara untuk mengembangkan kemampuan atau talenta, misalnya:
    – melatih diri terus-menerus tanpa takut salah atau gagal;
    – masuk dalam kelompok atau organisasi yang mempunyai minat yang sama sehingga dapat saling mengembangkan;
    – belajar dan berani bertanya kepada orang yang lebih berpengalaman.
    – selain itu, perlu disertai dengan sikap-sikap berikut:
    – tidak mudah putus asa;
    – tekun;
    – disiplin;
    – berusaha dengan keras;
    – menyertakan Tuhan dalam setiap usaha.

Catatan penting dari Buku Guru Kelas 7 K13

Tugasku Sebagai Citra Allah

Mengapa Aku Diciptakan?

Pernahkan terbersit dalam pikiranmu, mengapa manusia diciptakan? Atau, pernahkah kalian merasa hampa dan merasa kehadiranmu di dunia ini tidak penting? Atau, adakah perbedaan jika ‘aku ada dan tiada’?

Bahasan tentang “Aku Citra Allah yang Unik” pada bahasan sebelumnya mungkin sedikit membantu kita dalam memahami misteri itu. Mungkin belum cukup. Namun, Alkitab punya banyak bukti bahwa kita semua ini berharga, dikasihi, diperhatikan dan istimewa!

Dari Kitab Kejadian kita tahu bahwa kita ini istimewa. Bagaiman tidak? Allah menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya sendiri! Saat Dia menciptakan ciptaan-ciptaan lain hanya dengan berfirman, “Jadilah terang”, “Jadilah cakrawala”, “Hendaklah segala air…”, khusus saat hendak menciptakan manusia, Dia berfirman, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…” Istimewa!

Mau bukti betapa kita berharga, dikasihi dan diperhatikan? Baca kutipan-kutipan berikut:

Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya (Matius 10:30).
Sebab beginilah firman TUHAN semesta alam, yang dalam kemuliaan-Nya telah mengutus aku, mengenai bangsa-bangsa yang telah menjarah kamu–sebab siapa yang menjamah kamu, berarti menjamah biji mata-Nya (Zakaria 2:8).
TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku (Mazmur 139:1).
Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku (Mazmur 23:1)
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Setelah membaca ayat-ayat di atas, kita tidak perlu ragu lagi tentang betapa kita istimewa dan kasihi Allah. Meskipun begitu, nampaknya itu belum membantu kita memecahkan misteri tentang alasan mengapa kita, manusia, diciptakan.

Untuk membantu kita mendalami pertanyaan besar itu, mari kita baca dulu kutipan Kitab Kejadian berikut ini:

Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi” (Kejadian 1:26).

Dari kutipan di atas, khususnya pada frasa “supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan…”, sementara dapat kita simpulkan bahwa Allah menciptakan manusia supaya manusia berkuasa atas ciptaan-ciptaan lainnya. Nah, apa yang dimaksud dengan “berkuasa” ini? Bebas untuk berbuat semaunya atas ciptaan-ciptaan lainnya? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berkuasa berarti mempunyai kuasa (dalam berbagai arti seperti berkesanggupan, berkemampuan, berwenang, berkekuatan). Berkuasa dalam artian manakah manusia atas ciptaan lainnya? Mari kita baca kutipan Kitab Kejadian berikut ini:

TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (Kejadian 2:15).

Nah! Ternyata manusia itu ditempatkan dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Kalau begitu, arti “berkuasa” tadi adalah manusia-lah yang sanggup, mampu/kuat dan berwenang dalam mengusahakan dan memelihara ciptaan-ciptaan lainnya. Dan, berwenang itu tentu sangat berbeda dengan semena-mena!

Lalu, apa tugasku sebagai Citra-Nya?

Dari alasan mengapa kita diciptakan, dapat dengan mudah kita simpulkan apa tugas kita sebagai manusia: mengusahakan dan memelihara ciptaan-Nya. Hanya manusialah, dengan akal budinya, yang sanggup dan berwenang untuk melakukan itu. Manusia mengusahakan alam dan isinya untuk kehidupannya dan di saat yang sama juga harus memeliharanya. Pada mulanya Allah menciptakan segala sesuatu itu baik adanya, maka tugas manusialah untuk memelihara itu supaya tetap baik adanya.

Lalu, sebagai Citra Allah? Tentu kita masih ingat penjelasan tentang foto dalam pembahasan sebelumnya. “Tugas” dari foto itu adalah untuk menggambarkan secara tepat apapun yang digambarkannya. Begitupun manusia. Karena manusia adalah gambar atau citra Allah, maka tugas manusia adalah untuk menggambarkan tentang Allah. Caranya? Ya seluruh hidupnya harus mencerminkan Allah. Karena Allah adalah sumber dari segala kebaikan, maka hidup manusia harus mencerminkan kebaikan. Tuhan Yesus sendiri berpesan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:16).

Setiap saat kita melihat sebuah foto seseorang, maka secara otomatis kita mengingat sosok nyata dari foto itu. Begitu juga seharusnya, setiap kali kita melihat seseorang, kita mengingat sosok yang sesungguhnya digambarkan olehnya: Allah sendiri. Dan tantangan-Nya adalah: setiap saat orang lain melihat kita, mereka seharusnya mengingat sosok yang sesungguhnya kita gambarkan: Allah sendiri. Sanggup? Bagaimana caranya? Tentu kata-kata yang manis memang dapat membantu kita mewartakan kebaikan Allah, namun sayangnya, orang akan lebih percaya dengan sikap dan tindakan baik yang kita lakukan.

Teruslah berbuat baik. Sekecil apapun. Berbuat baik tidak semudah niat. Perlu membiasakan diri untuk melakukannya. Seharusnya melakukan kebaikan tidaklah sulit, jika kamu percaya bahwa kamu diciptakan untuk mencerminkan Sang Kebaikan dan telah dilengkapi denga segala sesuatu yang kamu butuhkan untuk berbuat baik. You are loved to love!

01112017
10:42 WITA
aendydasaint.com