Ora et Labora – Renungan Menjelang Ujian

Rasa gelisah itu datang lagi. Lebih sering menjelang ujian datang. Yang lebih menyakitkan, dia datang bersama kekhawatiran. Apakah ujian selalu datang dengan cara yang menakutkan?

Tunggu sebentar. Apa sih yang membuatku gelisah? Apakah aku kurang persiapan? Apa yang kukhawatirkan? Apakah aku khawatir hasil ujian ini akan membuat orang-orang di sekitarku mengubah penilaian mereka terhadapku?

Jika aku kurang persiapan, daripada gelisah, bukankah lebih baik aku memperbaiki persiapanku? Bagaimana jika waktu yang tersedia sepertinya sudah terlalu mepet untuk mempermantap persiapanku? Ah, bukankah akan lebih baik jika aku fokus dengan memantapkan apa yang sudah kukuasai daripada gelisah tak jelas dan membabi buta mencoba menguasai hal-hal yang tak mungkin kukuasai dalam waktu singat?

Jika aku khawatir orang-orang di sekitarku akan memandang rendah aku jika hasil ujian nanti mengecewakan, bukankah itu lebih menunjukkan siapa mereka daripada siapa aku? Ujian itu adalah hal yang biasa dalam hidup. Gagal dalam salah satu dari banyak ujian bukankah akhir dari segala-segalanya. Kegagalan seharusnya menjadi motivasi terbesar untuk bangkit lagi. Tuhan Yesus jatuh tiga kali dalam jalan salib-Nya, dan Dia tak pernah menolak untuk bangkit lagi!

Bagaimana jika setelah mempersiapkan ujian ini dengan mantap, tetapi nanti hasilnya tidak menggembirakan? Jika itu terjadi, adakah yang bisa kulakukan? Bukankah jika aku telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan maksimal, seharusnya aku bisa menanti hasilnya dengan tenang? Dalam hidup ini, ada banyak sekali hal yang tidak bisa kita kendalikan. Sesungguhnya, bukan APA yang akan terjadi yang paling penting, melainkan BAGAIMANA aku menyikapi apa yang akan terjadi. Jika hasil ujian kali ini memuaskan, syukuri sebagai hasil jerih payah selama ini. Jika hasil ujian kali ini belum memuaskan meskipun telah dipersiapkan dengan matang, ambil dia sebagai pelajaran dan pengalaman berharga. Selalu ada ruang untuk berkembang. Perhatikan poin-poin kesalahannya, dan upayakan untuk memperbaikinya di hari mendatang. Dalam hidup setelah masa sekolah nanti, akan ada lebih banyak ujian kehidupan. Tidak mendapatkan hasil yang baik dalam satu ujian tidak sama dengan kegagalan, tidak mencerminkan kualitas diri, tidak sama dengan masa depan yang suram.

Ketakutan bahwa masa depan tergantung dari hasil ujian sesungguhnya tidak perlu. Seberapa penting pun ujian itu, masa depan tidak tergantung padanya. Aku akan berusaha selalu mengingat bahwa Tuhan pasti punya rancangan yang baik untukku. Jika aku telah mempersiapkan diriku dengan baik, dan apa yang kuperoleh tidaklah sesuai dengan harapanku, pasti aku kecewa, tetapi tidak seharusnya aku berhenti di situ. Pelajaran berharga dalam hidup malah lebih sering didapati dalam pengalaman yang tidak menyenangkan. Terkadang, apa yang kita anggap baik dalam jangka pendek, ternyata tidaklah benar-benar baik jika dilihat dari jangka panjang perjalanan hidup kita. Percayalah, Tuhan tahu mana yang lebih baik untuk hidup kita, jika kita memasrahkan hidup kita dalam penyelenggaraan-Nya!

Menjelang ujian, daripada sibuk menghabiskan waktu untuk gelisah tentang sesuatu yang belum tiba, adalah lebih baik jika kupakai untuk memupuk kepercayaan diriku. Aku pasti bisa. Jika aku merasa telah 100% siap, maka seharusnya tak ada yang perlu kukhawatirkan. Jika aku 90% siap, maka aku harus percaya diri dengan kesiapan yang 90% itu daripada gelisah dengan 10% area abu-abu yang tak tentu. Bahkan jika aku hanya merasa yakin 60%, tidaklah baik jika 40% ketidaksiapanku justru menggerogoti dan merusak 60% keyakinanku. Yang aku paling butuhkah menjelang ujian adalah kesiapan mental, psikologis, dan fisik. Aku lebih butuh ketenangan dan kebugaran daripada belajar marathon yang berpotensi mengganggu ketenangan dan merusak kebugaranku. Jangan sampai aku menang di meja belajar, tetapi kalah di meja ujian!

Aku ingat akan sebuah quote yang selalu dilekatkan dengan Santo Benediktus: “Ora et Labora”. Berdoa dan Bekerja. Prinsip ini sangat baik untuk diterapkan dalam hidup sehari-hari. Dalam menghadapi apapun, aku perlu berdoa dan bekerja. Ketika aku memohon Tuhan campur tangan dalam hidupku, aku tak boleh berpangku tangan. Aku harus mengambil peran aktif dengan bekerja sesuai dengan kemampuanku sebagai manusia, sembari memohon Tuhan sempurnakan hal-hal yang hanya bisa disempurnakan dengan daya Ilahi-Nya! Ah, kiranya Allah Bapa, Tuhan Yesus Sang Putra, dan Roh Kudus Sang Penolong itu memampukanku dalam menghadapi setiap ujian dalam hidupku.

Ad Majorem Dei Gloriam. Amen!

24 April 2021
Aendydasaint.com

Aku tidak sejahat orang lain…

Lukas 18:9-14

Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:”Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.

Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.

Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.

Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.”

Setelah membaca penggalan Injil di atas, pertanyaan pertama saya adalah siapakah yang dimaksud dengan “beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain”?

Rupanya, jika kita mengacu pada perumpamaan yang dikisahkan oleh Tuhan Yesus, tidak sulit untuk menemukan jawabannya: Orang Farisi! Mengapa? Mari kita pelajari ceritanya.

Di perumpamaan itu, hanya ada dua tokoh: Orang Farisi dan Pemungut Cukai. Latar peristiwa ini adalah Bait Allah. Dan, tentu saja, yang mereka lakukan di sana jelas: berdoa. Apakah ada hal lain lagi? Ada. Doa mereka berbeda baik dari sudut pandang cara maupun isi. Ini menarik untuk kita lihat dengan lebih jeli.

Dari segi cara berdoa, sesungguhnya kedua-duanya sama-sama berdiri. Namun, ada penjelasan tambahan untuk si Pemungut Cukai: dia berdiri jauh-jauh! Apakah perbedaan kecil ini penting? Dari sudut pandang panggung cerita, ini penting. Ini untuk membedakan posisi berdiri dari kedua tokoh itu. Jika mau dibayangkan dalam konteks gereja saat ini, bayangkanlah Orang Farisi itu berdiri dekat dengan altar, sedangkan si Pemungut Cukai itu berdiri jauh-jauh dari altar – yah, kurang lebih dekat-dekat pintu gereja. Tambahan pula, ternyata si Pemungut Cukai tidak berani menengadah ke langit. Malah, dia memukul diri.

Dari segi isi doa, perbedaannya tampak sangat mencolok. Bukan hanya panjang doanya yang berbeda, tetapi makna yang tersirat dari doa keduanya amat bertolak belakang! Orang Farisi itu berdoa lebih panjang dari si pemungut cukai dan, jika kita lihat dari kata-kata yang diucapkannya, dia hanya ingin mengatakan kepada Allah bahwa ‘syukur dia tidak seperti orang-orang jahat’ dan setelah itu, dia memamerkan kesalehan dan amal yang telah dilakukannya. Sedangkan si Pemungut Cukai, dia bahkan seperti orang yang tidak berani berbicara kepada Allah, selain mengakui ketidakpantasannya dan minta dikasihani.

Jadi, tak usah diragukan lagi, Orang Farisilah yang dimaksud dengan orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain itu.

Namun, setelah mendapatkan jawaban itu, agaknya saya belum sepenuhnya puas. Sepertinya ada arah yang belum saya kunjungi dari pertanyaan pertama tadi. Apakah hanya Orang Farisi yang seperti itu? Atau, lebih tepatnya, saya belum berhenti bertanya, siapakah Orang Farisi itu? Dengan pendekatan historis kritis pada kisah itu, dengan mudah jawabannya mencuat: Ahli Kitab yang kerap dikecam Tuhan Yesus karena perilaku mereka. Tapi, bukankah perilaku-perilaku mereka itu tetap ada hingga hari ini?

Ya, tentu saja ada. Bukankah ego, kesombongan dan kebanggaan itu memang selalu melekat erat sepanjang sejarah peradaban. Jika dulu Tuhan Yesus mengecam Orang Farisi dengan perumpamaan itu, bukan tidak mungkin, dan memang benar, kecaman itu juga masih berlaku bagi setiap kita yang menghirup masa kekinian ini. Kita tidak perlu menjadi ahli kitab untuk menjadi ‘orang farisi’. Kita hanya perlu  mengalah pada kecongkakan yang memang sulit untuk kita taklukkan.

Jangan berharap bahwa, adalah hal yang mudah untuk menyadari kita kerap tunduk pada kesombongan itu. Kesombongan itu adalah umpan si jahat yang paling ampuh sejak jaman Hawa, nenek leluhur kita. Kesombongan terselubung itu sangat berbahaya. Contoh sederhana adalah apa yang kerap banyak orang lakukan tanpa menyadari bahwa itu adalah salah satu bentuk kesombongan. Saya pun pernah melakukannya: mencela orang lain! Dan bahkan saat ini ada ruang yang sangat nyaman untuk melakukannya, bahkan – jika Anda mau – tanpa diketahui oleh siapa pun selain Anda dan Tuhan: media sosial!

Pernahkan kita sadari, bahwa menertawai kebodohan orang lain adalah salah satu bentuk kesombongan? Atau, ketika ada seseorang, yang bahkan tidak kita kenal secara personal, sedang mengalami masalah rumah tangga yang pelik, dan kita – dengan santainya – ikut menilainya dengan komentar-komentar yang mungkin bagi kita bijaksana, bukankah itu adalah cara lain untuk mengatakan ‘aku tak seperti dia’? Belum lagi jika ada yang membagikan kisah tentang orang jahat atau sadis, atau yang kedapatan melakukan kesalahan. Bukankah godaan untuk kembali membagikan kisah itu amat besar? Ayo… bagikan lagi, biar semakin banyak yang tahu. Adakah kepuasan tersendiri yang kita cari di sana?

Menganggap diri benar dan bahwa kita tidaklah seperti orang-orang yang sedang terpuruk karena kesalahan mereka tidak perlu dengan kata-kata yang terucap, bukan? Mungkinkah perintah Tuhan Yesus “Barangsiapa yang tidak mempunyai dosa, silakan lempar perempuan berdosa itu duluan” juga berlaku buat kita? Apakah ini adalah alasan dari doa-doa kita yang tidak atau belum dikabulkan? Jika kita harus mencintai Tuhan yang tidak kelihatan dengan mencintai manusia yang kelihatan, bukankah kita juga harus rendah hati di hadapan Tuhan yang tidak kelihatan dengan rendah hati di hadapan sesama yang kelihatan? Kapankah kita akan lelah berdiri pada kesombongan kita dan dengan rendah hati memukul-mukul diri sambil berucap “Tuhan, kasihanilah aku orang berdosa ini”?

Mari kita belajar pada sang Pemungut Cukai. Mari kita belajar pada doa yang sederhana. Mari kita belajar rendah hati pada Hati yang pernah direndahkan namun kini bersemayam pada kejayaan Surgawi!

Sabtu, 22 Oktober 2016
aendydasaint.com