Sengsara dan Wafat Yesus

Pertanyaan Mendasar:

  1. Seperti apa sengsara dan wafat Tuhan Yesus itu?
  2. Mengapa Dia harus sengsara dan wafat?
  3. Apa yang dapat kita petik dari kisah sengsara dan wafat Tuhan Yesus?
  4. Bagaimana seharusnya kita memandang penderitaan?

Jawaban:

  1. Kisah sengsara dan wafat Tuhan Yesus tercatat dalam keempat Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes). Kisah itu dapat kita baca di Injil Matius 26:36-27:56, Markus 14:32-15:41, Lukas 22:39-23:49, dan Yohanes 18:1-19:30.Secara garis besar, kisah sengsara itu dimulai dengan berdoa di taman Getsemani ⇒ ditangkap di taman Getsemani ⇒ dibawa ke hadapan orang-orang yang berpengaruh/memegang kekuasaan ⇒ disesah/disiksa ⇒ dijatuhi hukuman mati ⇒ memanggul salib ⇒ disalibkan di Bukit Golgota ⇒ menyerahkan nyawa pada Bapa ⇒ wafat. Mengapa kisah sengsara itu sudah dimulai sejak Dia berdoa di taman Getsemani? Bukankah pada waktu itu Dia belum ditangkap? Ada beberapa hal yang penting untuk diketahui, yang menjadi alasan:(a) Pada waktu Yesus berdoa di taman Getsemani, Dia mengajak murid-muridNya. Secara lebih khusus, tiga orang muridNya (Petrus, Yohanes dan Yakobus) dibawaNya sedikit menjauh dari murid-murid lain, ke sebuah tempat dimana Dia akan berdoa. Ingat, pada saat itu Dia sudah tahu bahwa sebentar lagi Dia akan ditangkap dan diserahkan kepada tua-tua Yahudi. Coba kita bayangkan, bagaimana rasanya jika kita tahu bahwa sesaat lagi kita akan ditangkap dan disiksa. Kepada ketiga murid itu Tuhan Yesus bahkan berkata, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Mat 26:38).

    (b) Sebagai manusia (Hah? Manusia?? Bukannya Dia Tuhan? Tenang, hal ini akan kita bahas di pokok bahasan Yesus Kristus, Sungguh Allah Sungguh Manusia), Tuhan Yesus merasa gelisah, takut, dan mencoba untuk membahas situasi diriNya dengan BapaNya. Dalam doaNya Dia berkata, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan  ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Mat 26:39). “Cawan” di sini berarti sengsara.

    (c) Injil Lukas mencatat: “Ia sangat ketakutan dan makin sungguh-sungguh berdoa. PeluhNya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk 22:44).Setelah selesai berdoa, datanglah segerombolan orang yang hendak menangkap Tuhan Yesus. Sengsara ini semakin pedih, karena ternyata, salah satu muridNyalah yang mengantar gerombolan itu. Yudas Iskariot. Injil Lukas bahkan mencatat, Yudas Iskariot ini menyerahkan Tuhan Yesus kepada gerombolan itu dengan ciuman (Luk 22:47-48). Maksudnya? Mungkin sulit untuk mengenali Yesus pada waktu malam di taman Getsemani dan banyak orang dari gerombolan itu yang tidak mengenal Yesus. Karena itu, untuk memberitahu kepada gerombolan itu yang mana Tuhan Yesus, Yudas Iskariot mendekatiNya lalu menciumNya. Kemungkinan besar Yudas Iskariot sudah berpesan kepada gerombolan itu bahwa Yesus adalah orang yang akan diciumnya. Tambahan lagi, pada waktu Dia ditangkap, murid-muridNya yang lain meninggalkan Dia dan melarikan diri (Markus 14:50). Setelah ditangkap, Tuhan Yesus dibawa ke hadapan orang-orang penting di Israel pada waktu itu. Petrus diam-diam mengikuti dari jauh. Yesus dibawa ke rumah Imam Besar, ke hadapan Mahkamah Agama, Pilatus, dan Herodes. Di halaman rumah Imam Besar, sengsara Yesus semakin bertambah lagi karena Petrus, salah satu murid yang paling dekat denganNya, menyangkalNya. Di sini, “menyangkal” berarti pura-pura tidak kenal atau tidak mau dianggap kenal dengan seseorang. Parahnya lagi, Petrus menyangkal Yesus di dekat Yesus. Setelah Petrus menyangkalNya tiga kali, Yesus memandangnya (Luk 22:54-62).Ketika Tuhan Yesus dibawa ke hadapan Pilatus, sebenarnya Pilatus tidak menemukan kesalahan apa pun padaNya. Pilatus malah ingin membebaskanNya. Pilatus kemudian menyesah Yesus (menghukum dengan cambuk khusus yang dapat mengoyak daging), dengan harapan, setelah disesah, mungkin orang-orang akan puas dan membiarkanNya bebas (Luk 22:22). Tetapi ternyata tidak. Setelah itu, Pilatus mengingatkan orang-orang pada waktu itu bahwa tiap tahun, dalam rangkaian pesta paskah, dia selalu membebaskan satu orang hukuman atas pilihan orang banyak. Pilatus memberi pilihan: membebaskan Barabas (seorang pemberontak dan pembunuh) atau Yesus. Oleh hasutan imam-imam kepala dan tua-tua, orang banyak memilih Barabas untuk dibebaskan. Orang-orang itu bahkan lebih memilih seorang pemberontak dan pembunuh daripada memilih Tuhan Yesus! Bagaimana rasanya jika kita dibanding-bandingkan dengan penjahat, dan akhirnya orang-orang lebih suka dengan penjahat itu ya? Hm…

    Setelah itu, Tuhan Yesus dijatuhi hukuman mati. Sebelum memanggul salibNya, serdadu-serdadu wali negeri mengolok-olokNya (Mat 27:27-31). Mereka memakaikan jubah ungu kepadaNya, memasang mahkota duri di kepalaNya, meludahiNya, dan bahkan memukul kepalaNya dengan buluh.

    Yesus memanggul salib dari Kota Yerusalem ke sebuah bukit di pinggir kota itu. Bukit itu bernama “Golgota” yang berarti “Tempat Tengkorak”. Sesampainya di sana, Dia disalibkan bersama dua orang penjahat. Jadi pada dasarnya, Tuhan Yesus diperlakukan seperti seorang penjahat. Kedua tangan dan kakiNya dipaku pada kayu salib. Tak terbayang sakitnya. Setelah salibNya ditegakkan, banyak orang menjadikanNya tontonan. Bayangkan saja situasinya: berkeringat, berdarah-darah, luka parah, nyaris telanjang, malah jadi tontonan dan bahkan bahan ejekan. Bahkan salah satu penjahat yang disalib di sampingNya juga ikut-ikutan mengejekNya.

    Dari atas salib, Tuhan Yesus melihat ibuNya. Ternyata ibuNya melihat semua yang terjadi. Anak mana yang ingin melihat ibunya menangis karena dirinya? Anak mana yang ingin ibunya – seseorang yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang – melihat anaknya (anak yang selama ini selalu diperlakukannya dengan lembut) disiksa, diolok-olok, diperlakukan sebagai penjahat, bahkan dibunuh di muka umum? Tentu Tuhan Yesus sangat sedih melihat kesedihan di mata ibuNya.

    Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga. Pada jam tiga, berserulah Tuhan Yesus dengan suara nyaring, “Eloi, Eloi, Lama Sabakhtani?” yang berarti ‘AllahKu ya AllahKu mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ Mungkin ini adalah puncak kesedihan Tuhan Yesus, sampai Dia merasa ditinggalkan oleh BapaNya. Setelah meminum anggur asam yang diunjukkan ke mulutNya dengan sebatang hisop, Tuhan Yesus berkata, “Sudah selesai” (Yohanes 19:30). Kemudian, Tuhan Yesus menyerahkan nyawaNya pada Bapa, “Ya Bapa, ke dalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu.” Tuhan Yesus pun wafat.

    Sesaat setelah Tuhan Yesus wafat, tabir Bait Suci terbelah menjadi dua, terjadilah gempa bumi, bukit-bukit batu terbelah, kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah meninggal bangkit! (Matius 27:51-53). Seorang Kepala Pasukan, orang romawi, yang melihat semua kejadian itu berkata, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”. Bagi orang romawi, yang hanya mengenal dewa-dewa, orang yang kematiannya diiringi dengan kegelapan dan gempa bumi adalah titisan dewa. Dan sesudah seluruh orang banyak, yang datang berkerumun di situ untuk tontonan itu, melihat apa yang terjadi, pulanglah mereka sambil memukul-mukul diri (Lukas 23:48).

  2. Mengapa Dia harus sengsara dan wafat?
    Hmm… Banyak orang menyimpan pertanyaan ini. Jika memang Tuhan Yesus itu Anak Allah, mengapa Dia harus sengsara dan wafat? Jawaban “untuk menebus dosa manusia” rasanya belum cukup karena masih bisa menimbulkan pertanyaan lain: ‘Tidak bisakah dengan cara lain, yang mungkin tidak separah itu?’Minimal ada dua cara untuk menjawab misteri ini.Cara pertama adalah pendekatan sejarah. Maksudnya? Pada masa Yesus hidup, bangsa Israel sedang dijajah oleh bangsa Romawi. Dan salah satu hukuman terberat yang digunakan oleh bangsa Romawi untuk menghukum seseorang adalah dengan penyaliban. Jadi, ketika tua-tua Yahudi ingin mengenyahkan Yesus, tentu mereka ingin mengenyahkanNya dengan cara yang sangat kejam demi kepuasan mereka. Apakah orang-orang Yahudi tidak memiliki cara kejam untuk menghukum? Sebenarnya mereka punya. Salah satu contohnya adalah merajam (melempari dengan batu sampai mati) si terhukum sampai mati. Tetapi, tampaknya mereka lebih memilih untuk menggunakan cara bangsa Romawi – mungkin – supaya mereka tampak tidak terlibat langsung dalam kematian Yesus atau karena penderitaan akibat penyaliban lebih dahsyat ketimbang rajam.Cara kedua adalah pendekatan teologis. Maksudnya? Pasti kalian pernah mendengar frase “Anak Domba Allah”. Sebenarnya siapa sih yang dimaksud dengan frase itu? Yesus! Begini penjelasannya. Bagi orang Yahudi, cara untuk menghapus dosa-dosa mereka adalah dengan bertobat dan mengorbankan anak domba kepada Allah. Anak domba itu harus disembelih dan mereka harus diperciki dengan darahnya. Mereka harus selalu mengulang ritual itu demi menyucikan diri. Yesus adalah Anak Domba Allah. Mengapa? Karena darahNya ditumpahkan demi penebusan dosa manusia. Hebatnya, darahNya hanya harus ditumpahkan sekali untuk selama-lamanya demi keselamatan kita. Dia memang harus menderita, karena hanya dengan darah-Nya kita diselamatkan!
  3. Apa yang dapat kita petik dari kisah sengsara dan wafat Tuhan Yesus?
    Banyak hal! Pertama, tentu kita bisa belajar tentang arti sebuah pengorbanan. Tidak tanggung-tanggung, ini adalah pengorbanan yang teramat besar. Bayangkan, seorang Anak Allah, berarti sebelum turun ke dunia tinggal bersama Allah dalam kemuliaan dan kebahagiaan abadi, rela turun ke tanah terkutuk karena dosa Adam dan Hawa, menjadi seperti ciptaan-Nya, merasakan kefanaan, mengalami rasa sakit dan bahkan mati bersimbah darah hanya supaya ciptaanNya itu kembali dipulihkan dan dapat hidup lagi bersama BapaNya! Masih beranikah kita menganggap diri sebagai orang yang paling hebat dalam berkorban? Atau, bahkan selama ini kita tak pernah berkorban? Mengorbankan sedikit waktu bermain kita demi menolong adik mengerjakan PR misalnya?Kedua, kita bisa belajar tentang keteladanan. Ya, Tuhan Yesus tidak hanya ‘omdo’ – omong doang – ketika mengajarkan orang-orang tentang kasih. Dia tidak hanya mengajarkan kasih dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan. Dia pernah mengajarkan bahwa tidak ada kasih yang lebih besar daripada seorang yang rela memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya. Dan Dia menunjukkan itu bukan?Ketiga, arti sebuah persahabatan. Tuhan Yesus pernah bersabda bahwa kita ini bukan lagi hamba, melainkan sahabat. Dan, lihat, apa yang telah Dia lakukan untuk kita sahabat-sahabatNya? Lihat bagaimana Dia menghargai ikatan kita sehingga Ia merelakan DiriNya menderita agar kita tak perlu sengsara!Tentu masih banyak lagi hal-hal lain yang dapat kita petik dari kisah sengsara Tuhan. Renungkanlah!
  4. Bagaimana seharusnya kita memandang penderitaan?
    Penderitaan bukanlah akhir segala-galanya! Saat menderitalah kita bisa menilai sehebat apa kepribadian dan iman kita. Jika setelah menderita dan wafat Tuhan Yesus bangkit mulia dan terangkat ke surga, maka setelah penderitaan yang kita alami, kita akan menjadi jauh lebih kuat dari sebelumnya! Tuhan sendiri pernah bersabda bahwa barangsiapa setia dalam perkara kecil, akan setia juga dalam perkara besar. Apapun yang kita alami di dunia ini sifatnya hanya sementara saja, tetapi upah dari kesetiaan dan iman kita sifatnya abadi di Surga!Penderitaan bukanlah kutukan! Tuhan tidak mengutuk kita dengan penderitaan. Malah, dengan penderitaanlah Tuhan dapat dengan mudah menilai kualitas iman kita. Ingat, kita tidak dipanggil untuk sukses (selalu berhasil/tidak menderita) melainkan untuk melayani sesama. Apakah kita tidak boleh sukses? Boleh saja. Tetapi tentu kesuksesan kita itu harus kita pakai untuk melayani semakin banyak orang. Jangan pernah berpikir bahwa jika kita tidak sukses atau menderita, itu berarti kita tidak diberkati Tuhan.Penderitaan adalah cara yang paling bagus untuk mengenang, merasakan dan menyatukan kepedihan kita dengan sengsara Tuhan Yesus sendiri! Kita tidak akan pernah tahu seberapa besar makna penderitaan Tuhan jika kita tidak pernah sedikit pun mengalami penderitaan. Jika kita sedang menderita, ingatlah, Tuhan Yesus sendiri – Anak Allah itu – pernah menderita. Dan sama seperti Dia yang bangkit, percayalah Dia juga akan membangkitkanmu dari penderitaan itu!

    Mau mendengarkan renungan harian singkat dengan pendekatan pribadi? Kunjungi dan subscribe channel YouTube Risalah Immanuel. Upload setiap hari jam 6 pagi WITA!